Cerpen "Siapa Aku Tanpa Ibu"


 

Oleh: Win Ansar

LANGIT begitu cerah tanpa setitik awanpun menghiasi, hanya ada pancaran matahari menembus jendela kamar di pagi ini. Sejak bangun tidur rasa gelisah sudah mulai muncul, fikiran menghantui ketakutan ditambah mimpi mengerikan tadi malam. Selalu berharap semoga semuanya baik-baik saja, dalam lantunan doa selalu ku persembahkan semoga Allah melindungi ku, orang tua beserta keluarga ku.

“Putri jangan melamun terus, ayuk berangkat kuliah” Suci mengajakku berangkat sekolah

“Cepat kali kita pergi ci, ini kan baru jam 7. Lagian mana ada orang di kampus jam segini” Ucapku menjawab ajakan Suci.

“Mau diusir lagi dari dalam kelas, kemaren saja baru sampai pintu sudah disuruh keluar karena telat 5 menit” Jawab Suci.

“Ya sudah, ayuk. Tapi tunggu dulu, aku ambil buku mata kuliah hari ini” Sambil aku membereskan tempat tidur menyusun buku dan beranjak dari kamar.

“Jangan lupa kunci pintu putri, kuncinya dibawa ya” Teriak Suci dari luar.

“Ya, kalau ketinggalan pun, apalah yang mau diambil orang dari kamar ini” Aku kunci pintu menuju keluar asrama memakai sepatu di luar dan berangkat ke kampus.

Begitulah rutinitas mahasiswa yang tinggal di asrama setiap hari, setelah shalat subuh berjamaah belajar sejenak sambil menunggu teman-teman yang lain mandi secara bergantian. Ini salah satu asrama pemda disediakan untuk mahasiswa yang kuliah di luar daerah. Rata-rata semua yang tinggal di Asrama berasal dari luar daerah, termasuk aku telah merantau sejak setahun yang lalu. Selama kuliah di sini aku baru sekali pulang kampung waktu libur semester lalu dan beberapa hari lagi akan ujian dan libur semester lagi.

“Ci boleh aku cerita” bisik ku kepada Suci saat duduk di teras menunggu dosen masuk.

“Ya ceritalah”

“Hari ini perasaan ku tidak enaklah, kayaknya ada hal buruk yang akan terjadi”

“Itu hanya perasaan kamu saja, berfikir positiflah semoga tidak terjadi apa-apa”

“Sudah aku coba. Tapi tidak bisa, sejak bangun tidur sudah tidak enak rasanya”

“Cobalah tenangkan dirimu dulu, jangan fikir macam-macam. Ya mungkin saja kamu lagi mikirin seseorang atau lagi kangen sama orang tua”

“Siapa mau difikirkan lagi, cowok juga tidak ada. Ya kalau kangen orang tua itu jelas, kan sudah lama kita tidak pulang”

“Nanti pulang kuliah telepon saja mama mu, sekarang kita kuliah dulu”

“Ya nantilah pulang kuliah nelpon mama, karena sudah seminggu tidak ada nelpon”

“Mungkin saja orang tua sudah lupa kepada mu, he he he he” Canda Suci biar aku bisa ceria.

“Tidak mungkin, mama ku paling sayang ke aku. Mungkin mereka sibuk” Jawabku.

Tidak lama kemudian dosen masuk, pagi ini kuliah pertama bahasa Inggris. Sebenarnya mata kuliah ini menyenangkan, tapi karena perasaanku tidak enak jadinya tidak seru. Seharian mulai mata kuliah pertama sampai akhir belajarnya tidak ada menyenangkan, Selama kuliah aku diam saja sambil melamun. Setelah selesai kuliah kami pulang dan istirahat seperti biasa.

***

Sepertinya tempat tidur ini bergerak, lampu juga goyang-goyang, aku dan Suci langsung bangun dan lari keluar. Ada gempa kecil selama 10 detik, tidak ada kerusakan dan tanda-tanda bahaya. Namun tetap takut karena sudah lama tidak merasakan gempa. Sore itu pukul 16.30 WIB mahasiswa asrama merasa ketakutan semua, seluruh mahasiswa langsung menelpon orang tuanya. Aku juga kefikiran sama orang tua, namun lupa membawa HP saat gempa terjadi. Mereka menelpon sama orang tuanya sudah nangis-nangis minta dijemput. Terakhir mendengar Suci sedang nelpon sama orang tua, bahwa di kampung gempanya sangat dahsyat.

“Ci gimana ? Kampung kita kuat tidak gempanya” sambil aku merangkul Suci.

“Kuat kali kata mamak aku, gempanya juga lama sampai 4 kali berulang-ulang” Jawab Suci.

“Terus keluargaku gimana, hp ketinggalan di dalam” hati mulai gelisah sambil ketakutan.

“Ambil saja, ini kan ngak ada gempa lagi”

“Ngak berani, temanin akulah”

“Ya sudah, ayuk cepatan” kami memberanikan diri mengambil hp di kamar.

Saat telepon mama sibuk, ayah tidak aktif. Hanya itu dua nomor dapat dihubungi di rumah. Kemudian telepon saudara-saduara yang lain di kampung, nomor mereka sibuk semua, sepertinya jaringan rusak. Air mata mulai mengalir, fikiran sudah tak karuan.

“Jangan nangis Putri, berdoa saja semoga keluarga mu baik-baik saja” Kata Suci.

“Coba telepon lagi kesana, apa bisa nelpon. Ini tidak ada aktif satupun nomornya”

“Ya tunggu sebentar, aku coba telepon” Suci menelpon orang tuanya.

“Gimana ?”

“Sama, sibuk juga nomor mama dan juga nomor lainnya. Mungkin terganggu jaringannya”

“Terus Gimana ? cobalah telepon lagi !” Paksaku kepada Suci sambil menangis.

“Sudah beberapa kali aku coba, tapi sibuk semua. Sabar saja dulu, nanti kalau sudah bagus jaringan pasti ditelepon balik sini. Berdoa saja semoga semua baik-baik”

***

Hari mulai gelap, namun orang tua belum juga menghubungiku, nomor mereka beserta keluarga tidak aktif juga. Azan berkumandang, kami shalat magrib berjamaah di Mushalla. Seperti biasa setelah shalat kami membaca Alquran, dengan khusuk penuh konsentrasi melantunkan ayat Alquran satu persatu. Ku coba lagi telepon mama dan ayah, belum aktif juga. Kemudian telepon kakak sepupu, rupanya nomor ini aktif. Rasa syukur sangat luar biasa, karena akan mendapatkan informasi dari kampung. Dengan hati berdebar-debar, tangan gemetar menunggu telepon ini diangkat.

“Hallo kak, gimana keadaan di sana” kakak sepupu akhirnya menerima telepon dari aku.

“Ya dik, alhamdulillah kita baik-baik saja dik. Tapi rumah kita sudah rata dengan tanah” Ungkap kak Melan dengan nada sedih.

“Terus mama dan ayah gimana kak, aku telepon mereka tidak ada satupun aktif”

“Kakak belum tahu kabarnya dik, karena jalan terputus menuju kampung sebelah. Sepertinya disana parah juga. Sinyal HP disini rusak, listrik mati susah untuk menghubunginya dik”

“Ya kak. Tolonglah cari informasi, Putri takut. Kalau bisa Putri pulang malam ni”

“Jangan pulang, jalan banyak terputus nanti lewat mana kesini. Biar kakak cari kabar ke sana,  karena kami belum bisa ke jalan kampung sebelah”

“Ya kak, kalau sudah ada kabar telepon Putri. Atau Putri nanti yang telepon kesana lagi kak”

Air mata terus menetes, karena belum dapat informasi dari orang tua, meski sudah menghubungi kakak sepupu namun ia tinggal di kampung sebelah, ia belum dapat informasi di kampung kami. Aku terus menghubungi nomor Mama dan Ayah, tidak ada yang aktif. Dua jam kemudian aku telepon lagi kak Melan, namun nomor kak Melan juga sudah tidak aktif. Hatiku semakin resah, sempat aku menangis berteriak malam itu, semua anak asrama datang ke kamar. Pamong asrama putri juga datang menenangkanku. Malam itu aku tidak ada tidur sampai pagi, untuk menenangkan hati baca ayat-ayat Alquran, berzikir dan shalat malam. Berharap semua selamat dari musibah ini.

***

Hari sudah pagi, namun kabar masih semu. Belum ada kabar tentang orang tua ku. Dari sejak gempa kemaren, aku tidak kefikiran membuka BBM, Whatsapp, Line dan Facebook, hanya HP kecil setiap saat dalam genggaman, sebentar-sebentar kutelepon mereka walaupun nomornya tetap tidak aktif. Pagi ini sambil berbaring buka Facebook, mulai gulir satu persatu status teman-teman di Facebook. Beberapa status dan berita di media mengucapkan duka gempa terjadi di daerah ku, salah satu kampung disebutkan paling parah adalah tempat tinggalku. Namun belum ada informasi yang tentang keluargaku di kampung karena akses sampai pagi ini belum bisa dilewati.

“Assalammualaikum kak” Sapaku saat kak Melan nelpon lagi.

“Waalaikumsalam, gimana kak kabar mama dan ayah, mereka baik-baik saja kan” Tanyaku kepada kak melan sambil menangis.

“Semuanya baik-baik saja dik, kampung kita memang paling parah, sampai pagi ini masih ada gempa susulan, makannya tidak ada jaringan HP di sana. Tadi pagi abangmu sudah ke sana kakak suruh, katanya mamak dan ayah baik. Tapi rumah sudah rata dengan tanah”

“Terus mereka tinggal di mana sekarang kak. Putri pulang saja pagi ini, Putri sangat khawatir dengan keadaan mereka”

“Kata mama, Putri jangan dulu pulang, mereka saja tinggal di tenda-tenda darurat. Nanti kalau Adik pulang ke sini tambah merepotkan mereka. Jalan ke sini juga masih terputus belum bisa lewat kendaraan”

Mendengar informasi itu hatiku mulai tenang sedikit, namun belum puas rasanya kalau belum berbicara langsung sama orang tua. Pagi itu aku tidak mungkin pergi kuliah, kepala sudah mulai sakit, mata bengkak karena nangis semalaman. Suci temanin aku di kamar, dia ikut juga tidak kuliah. Namun Suci sejak semalam sudah bisa nelpon sama orang tuanya dan kampung mereka tidak ada kerusakan, kareta tidak terdahsyat di kampungku. Aku telepon kembali kakak sepupu aku minta pulang, namu ia tetap tidak mengijinkan. Tapi aku merasa tidak tenang akhirnya aku telepon loket dan memesan tiket untuk pulang nanti malam.

***

Pagi itu aku sudah sampai di kampung, memang benar kata kak Melan jalan menuju ke kampung masih tertutup. Namun aku minta bantuan orang untuk mengantarkanku jalan kaki ke sana. Di pinggir-pinggir jalan ku lihat beberapa bangunan banyak mengalami kerusakan. Masyarakat tidak ada lagi pergi ke kebun, mereka sibuk membersihkan puing-puing bekas pecahan bangunan.

Sampai di depan gapura desa, kakiku sudah mulai lemas melihat rumah rata dengan tanah. Benar-benar peristiawa ini belum pernah terfikir dalam hidup ku, kerusakannya lebih parah dari ku lihat di jalan-jalan tadi. Aku melanjutkan berjalan ke rumahku, sudah tidak ada lagi satu bangunanpun yang utuh. Tidak peduli dengan barang-barang yang rusak di sana, ku mau mencari tenda darurat, untuk bertemu ke dua orang tua dan adikku.

Sambutan saudara-saudara penuh dengan tangisan dan duka, mereka memelukku sambil menangis. Namun sampai di tenda darurat aku belum juga bertemu orang tua, mereka tidak ada di sana. Aku masih belum bisa berbicara, tangisan perih masih membeku di tenggorokanku. Rasanya kalau aku berbicara terikan tangis yang keluar, aku tahan nafas sambil bejalan mencari mama dan ayah. Mereka di pengungsian juga tidak ada memberitahu, setiap mereka berjumpa dengan ku menunjukan rasa duka dan air mata yang menetes.

“Bibik di mana mama, ayah dan adik” tanyaku kepada bibik dia merupakan tetangga kami.

Bibik diam, tidak tahu mau jawab apa. Secara berlahan bibik menjawab “Mereka di rumah sakit, karena waktu gempa tertimpa reruntuhan sedikit”

“Bibik tolong antar ke sana, aku ingin bertemu mama dan ayah” Air mataku terus mengalir.

“Jauh sekali kesana. Jalan belum bisa dilalui kendaraan, kemaren mereka diangkat menggunakan helikopter” Kata bibik

Aku terus menangis dan teriak-teriak di dalam tenda darurat itu, sudah sampai pun aku di kampung halaman namun belum juga bertemu dengan orang tua. Bibik dan saudara-saudara lainnya terus menasehati dan meredakan tangisanku. Akhirnya berhenti menangis, tapi hati ini belum tenang sebelum menyaksikan sebenarnya.

Kemudian aku pergi berjalan-jalan sekitaran kemah, melihat kerusakan terjadi di kampung tersebut. Sepertinya hidup ku tidak berguna lagi melihat kenyataan ini, ditambah belum ada kepastian kabar orang tua ku. Kemudian aku berjalan di pinggir desa, di sana aku melihat sebuah timbunan tanah. Kemudian tersirat di hatiku untuk mendekatinya, secara berlahan aku berjalan menuju kesana. Sampai ditimbunan pertama aku melihat batu nisan bernama ibu ku “Aminah” timbunan Kedua bernama Ayahku “Talib” dan ada timbunan yang lebih kecil nama adik ku “Andi”.

Luluh ragaku, darah ini mulai naik ke kepala, kaki gemetar, aku terduduk, air mata mulai mengalir disambut dengan desak tangis sambil berteriak menderu.

“Mama, kenapa tinggalkan aku sendiri, ayah kenapa kalian duluan pergi. Kenapa tinggalkan aku, bagaimana aku hidup sendiri di dunia ini. Aku tidak sanggup hidup tampa kalian ayah, mama, adik” Air mata turs mambasai kuburan itu.

“Siapalah aku tanpa mama, daripada aku ditinggal sendiri lebih baik aku ikut bersama mama dan ayah. Ya Allah tolong kembalikan mereka, atau ikut saja aku bersama mereka. Kenapa tidak aku duluan yang pergi, aku tidak sanggup menanggung derita ini, mama ayah jangan tinggalkan aku” Tangisan ini tidak lagi bersuara, rasanya aku tidak sanggup hidup lagi.

“Dua puluh satu tahun kalian manjakan, kenapa harus tinggalkan aku, mohon mama jangan tinggalkan kakak. Apalah artinya hidup ku tanpa mama, sama siapa aku meminta, sama siapa aku manja, kakak tidak mau tinggal bersama orang lain” Harapku semoga mereka kembali, namun itu tidak mungkin terjadi.

Pada saat terjadi gempa tersebut, kedua orang tuanya beserta adiknya tertimpa bangunan, mereka tidak sempat menyelamatkan diri. Namun keluarga dan saudaranya menutupi kejadian tersebut kepada Putri, akhirnya Putri menemukan sebenarnya bahwa mama ayah dan adiknya telah tiada. Putri sangat terpukul sesak tangisnya tidak ada yang bisa meredakan, rasanya ia tidak akan mampu melanjutkan hidup tanpa keluarga. Berkat bantuan dan nasehat keluarga, secara berlahan Putri mulai sadar, ia harus bertahan hidup untuk mengabdi kepada kedua orang tua melalui doa dan amalannya.

*) Cerita ini berangkat dari kisah nyata peristiwa gempa Gayo yang terjadi tahun 2013 di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

**) Cerpen ini telah terbit dalam buku kumpulan cerpen "Indahnya Langit" Terbitan FAM Indonesia (2015) dan sudah diterbitkan kembali di media online www.lintasgayo.co (2016)

Comments

  1. Terhanyut..tk terasa mnetes air mata ini.. Smg mama ayah dan adek tenang dsana.. Putri yg Sabbar ya..Aamiin

    ReplyDelete
  2. Wah ceritanya bagus, 10 lagi bisa jadi novel ini. Pilihan kata-katanya enak dibaca dan renyah.

    ReplyDelete
  3. tulisannya bagus, saya juga ingin bisa menulis cerita seperti itu, tapi belum mencoba..

    ReplyDelete
  4. Mantap cerpennya. Membawa pembaca ikut 'merasa' dan 'melihat' peristiwanya.

    ReplyDelete
  5. Tak terasa mata berkaca membacanya...
    Terimakasih untuk tulisnnyaa

    ReplyDelete
  6. Tulisan yang sangat menyentuh. Terlebih bagi saya yang juga pernah menjadi korban di Lombok.

    ReplyDelete

Post a Comment

RPP/PERANGKAT