EMUN ANSAR SALIHIN: CATATAN SEORANG PENYAIR YANG HUMANIS, ROMANTIS, DAN RELIGIUSITAS DALAM MENGKRITISI KEHIDUPAN



Oleh: Sulaiman Juned *)

Membaca Emun Ansar Salihin, teringat 7 tahun yang lalu. Tepatnya tahun 2010 kala itu saya berkenalan dengan sosok remaja pendiam di Mes VI ISI Padangpanjang. Ia datang dari dataran tinggi Gayo Buntul Kepies Bener Meriah, Aceh untuk melanjutkan studi di Program Studi Seni Kriya, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Bicaranya agak gagap (sukar berkomunikasi dengan baik). Tahun itu pula ia aktif di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, saya melihat talenta yang luar biasa dalam dirinya ditambah lagi Ansar yang sering saya panggil Win ini memiliki kemauan yang tinggi untuk menjadi. Telaten dalam belajar apapun, seperti menulis puisi, esai, dan teater serta jurnalistik. Kini ia telah menjadi Guru Desain Produksi Kriya di SMK 1 Mesjid Raya (2014-Sekarang), dan Dosen di Program Studi Seni Kriya Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh (2015-Sekarang).

Demikian pula halnya dalam dunia kepenyairan. Puisi-puisinya selalu saja berangkat dari realitas sosial dirinya---orang lain---masyarakatnya menjadi gejala jiwa dalam ruang realitas sastra. Manusia sebagai makhluk sosial setiap saat dihadapkan dengan formula rasa. Rasa dari daya cipta, kemudian lahirlah karya sastra lewat proses kreatif yang panjang. Ansar Salihin memilih judul Emun untuk buku tunggal pertamanya ini, Emun (bahasa Gayo), kurang lebih kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah Awan. Tentu memiliki makna tersendiri awan itu ada yang putih dan adapula yang abu-abu, bahkan hitam pekat. Pilihan judul Emun dari 100 puisinya yang dibagi dalam tiga periode Sajak. Sajak I (periode 2011) berisi 30 puisi, Sajak II (periode 2012-2013) berisi 30 puisi, Sajak III (periode 2014-2016) berisi 40 puisi menjadi judul buku, pertama untuk mengangkat lokalitas Gayo, terutama bahasanya, kedua hampir keseluruhan puisi-puisinya memilih diksi awan dan kabut. Coba nikmati puisi berjudul Tetesan Kabut: //Cahaya bintang tenggelam/ mampukah rembulan menyinari malam/ melawan kabut dalam rinai/ menyatukan pekat//.

Penyair melalui karya puisinya terkadang bergerak begitu liar. Bahkan memuat ide yang sulit untuk ditebak. Sesungguhnya ini bukanlah pekerjaan kebetulan bagi seorang penyair yang setiap saat membaca kehidupan dan selalu gelisah dalam ruang kontemplasi (perenungan) jiwa berangkat dari realitas sosial dirinya, keluarganyanya, masyarakat disekitarnya, maka seorang penyair setiap saat dan waktu berkelahi pikiran secara sadar melalui proses kreatif menguping prilaku bernama manusia menjadi penemuan gagasan dalam melahirkan puisi. Mengintip dan menyaksikan serta mengamati konflik yang terkurung pada dirinya sekaligus dilingkungannya menjadi kegelisahan spiritual secara terus menerus lalu terciptalah puisi. Penyair melakukan sekalian merasakan langsung segala peristiwa dalam hidup dan kehidupannya. Proses kreatif meruang dalam diri penyair lalu mengkritisi kehidupan itu sendiri ketika menulis puisi-puisinya. Ini dapat dibaca dalam puisi-puisi Ansar Salihin yang berjudul; Sujud, Merdeka, 1, Merdeka 2, Merdeka 3, Merdeka 4 , wajah Negeri, Tungku Api, Terkam, Sakit, Jejak Mahasiswa, Arti Syukur dan Perjalanan. Begitulah ia mengkritisi kehidupan lewat bahasa yang manis dan santun.

Penyair memilih menulis puisi dengan pilihan gayanya masing-masing dan menyampaikannya lewat bahasa yang sederhana namun mengandung makna membias. Sementara Ansar meneriakkan puisinya dengan mempergunakan lambang atau simbol sehingga memiliki nilai ambiguitas yang tinggi. Adakalanya para penyair mengabarkan amanat yang sangat personal itu melalui bahasa puitik bersifat emotif, pilihan katanya kerap melahirkan tanggapan dan emosi yang berfungsi sebagai frase musikal dalam puisi. Penyair memang terbilang kritis. Ia menyampaikan kabar melalui pergelokan pikiran. Mendeskripsikan sebuah kemerdekaan jiwa dari pengamatan terhadap pertarungan diri yang dijadikan perenungan, serta pertarungan batin yang diciptakan dalam wujud puisi. Penyair sebagai personal pasti ingin benar menghasilkan puisi yang berkualitas. Sudah selayaknya pula dalam menulis puisi memilih diksi sederhana dan tak perlu bergelap-gelap namun memiliki makna yang membias (luas/banyak makna) atau ambiguitas (banyak makna), mari simak puisi berjudul Bayangan Cinta //Menghantui//. Puisi yang hanya satu kata dan satu baris ini memiliki kekuatan yang luar biasa, sekaligus memiliki makna yang membias. Sesuatu yang membayang pasti menjadi hantu dan sangat menakutkan termasuk cinta. Cinta yang dimaksud boleh terhadap seorang perempuan, kepada Negara dan bangsa. Puisi memang harus dimaknai secara membias.

Puisi terkadang mampu menjadi perekat antar sesama sehingga menghilangkan perbedaan dan menumbuhkan kebersamaan, serta membuat pembacanya menjadi santun. Manusia acap kali saling bersilang pendapat tentang idealisme yang mengakar pada diri, sedangkan puisi dapat merekatkan keretakan manusia tersebut. Kekuatan puisi tidak hanya sebagai media hiburan semata, tetapi mampu memberikan santapan rohani, serta transformasi moral buat masyarakat. Buktinya simak puisi berjudul Sajak Tak Bermakna: //Ini sajak tak mampu memberi harga/ bagi tepian kasih sayang Tuhan balaskan kebaikan/ mempersembahkan bait-bait doa sepanjang usia/ bagi cinta yang kau tebar, guruku// Ini sajak tak mungkin tak bermakna/ andai bersaing dengan jasamu/ setidaknya inilah tanda cinta/ terima kasih seorang hamba, guruku// Ini sajak mengalir dalam kandungan ayat/ buatmu yang menyampaikan ilmu pagi dan petang/ tanpa pamrih antar langkah menuju kemulian/ menggapai bulan dan matahari//.

Emun merupakan catatan seorang penyair Ansar Salihin yang humanis, romantik, dan religiusitas dalam mengkritisi realitas sosial lewat realitas sastra. Buku puisi ini layak dimiliki oleh khalayak penikmat sastra. Bravo Emun, Bravo Ansar Salihin, teruslah menulis puisi tak henti untuk menyampaikan kemulian dan kebenaran.


*) Penulis adalah Penyair, Esais, Kolumnis, Dramawan, Sutradara Teater. Pendiri Sanggar Cempala Banda Aceh. Dosen Prodi Seni Teater ISI Padangpanjang, Sumatera Barat. Pendiri UKM-Teater Nol Unsyiah. Pendiri Teater Kosong Banda Aceh. Pendiri/Penasihat Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Pendiri UKM-Pers Pituluik ISI Padangpanjang. Penasihat Persatuan Pewarta Warga Indoenesia (PPWI) Cabang Padangpanjang. Pembina Forum Penggiat Literasi (FPL) Padangpanjang. Dewan Pakar Dewan Kesenian Aceh. Sekretaris/Ketua Pendirian Institut Seni dan Budaya (ISBI) Aceh (2012-2014). Doktor Penciptaan Seni Teater ISI Surakarta, Jawa Tengah (2016).

Comments

RPP/PERANGKAT